Jumat, 10 Maret 2023

Monolog : GEDEBUG - Bina Margantara




DI PANGGUNG NAMPAK SEORANG YANG SEDANG DIPASUNG MENYERUPAI SALIB (SALIB TERSEBUT BERADA DI DALAM SEBUAH LINGKARAN) DENGAN HANYA KEPALA YANG DISOROTI LAMPU. TATAPAN TAJAM, MENGAMATI SEKELILING.

BACKROUND SEBUAH JAM DINDING BESAR MENUNJUKKAN JAM 12 TEPAT

TIBA-TIBA MENGERANG…

SAMBIL BERUSAHA MELEPASKAN PASUNGAN TERSEBUT, MAKA LEPASLAH IA.

KEMUDIAN MEREGANGKAN OTOT-OTOTNYA, DAN MENCARI-CARI SESUATU, TERNYATA YANG DICARI ADALAH AIR

Eeeuuk..eeuuk.. (DIA PUN BERSENDAWA)
Air yang sejuk bagi jiwa-jiwa yang bebas, hahaha..taiklah..apa dengan mengikatku bisa memasungkan pikiran juga hah? Bodoh!! Di sini tempat yang sungguh tidak terlalu asyik, asing, banyak orang-orang aneh, omongannya juga ngawur, ngelantur. Sudah berlumut juga dinding di sini oleh obrolan mereka.
Oh ya, di sini juga serba putih-putih. Baju putih, celana putih, dinding putih (SAMBIL MENUNJUK), sampai bapak kepala sini rambutnya juga sudah putih, seperti kucing yang sering ia bawa. Kadang aku pun bingung, mana yang kepala mana yang kucing. Hahahaha…
Baiklah, sekarang sudah jam 12 tepat. Waktunya istirahat alias jam makan kata orang kantoran. Setuju? Tapi istilah itu mencokol terus dalam benakku, waktu istirahat atau istirahat waktu? Waktu makan atawa makan waktu? Yang terakhir ini memang aneh, kalau makan waktu, terus menuangkan waktunya kapan? Ahh, sungguh edan!! Kantoran edan.
Aku sesungguhnya betah di sini, itu..itu..

(MENUNJUK KE MENAKIN YANG DIDANDAN, SAMBIL MEYAKINKAN PADA PENONTON)

Itulah alasan mengapa aku betah disini. Wanita-wanita cantik dengan kopiah putih. Alamak, sedap nian. Terus melirik dan main mata dengaku, walau dari jauh. Tapi, dia selalu kosong, mengiba-iba ingin dibebaskan. Dan juga sudah aku bilang, lebih baik seperti aku saja. Bebas, mau jingkrak-jingkarak, guling-guling, merangkak, telungkup, ngangkang,enakmu dewe! Tak ada yang larang, tapi dia tak mau. Ya sudahlah.
Jam 12, berarti..

(MELIHAT JAM LALU BERPIKIR)

Menemukan jawaban dari ribuan pertanyaan yang cuma kuambil satu saja, cukuplah. Pertanyaannya seperti ini? Bagaimana tiba-tiba, para ibu melahirkan bayi-bayi yang sudah gila? Dalam arti kata, bayi yang gila sejak lahir. Aku percaya sih, mereka akan membawa perubahan. Aku yakin. Atau…bayi-bayi normal, tapi yang melahirkan adalah para ibu gila, ataunya lagi, bayi normal, ibu-ibu normal, yang punya sperma orang-orang gila…hahahaha!
Pasti ini adalah temuan yang mutakhir, yang hanya aku saja yang punya ide.
Pertanyaan ini dulu muncul dari observasi tak tersengaja. Ceritanya seperti ini : entah kenapa pada suatu malam yang cerah, aku tak bisa tidur. Aku coba duduk, berbaring, dan melakukan itu berkali-kali. Tapi tetap saja segar, tak mau pejam barang sejenak. Lalu, kuputuskan saja untuk mencari angin di luar, walau ada pemberontak-pemberontak kecil dalam diriku untuk mencegah perjalanan malam. (SAMBIL LIHAT KIRI-KANAN) ini rahasia ya? Akan aku kasih tahu rahasia diriku, aku takut gelap (MENGATAKANNYA DENGAN BERBISIK) awas!!! Jangan kasih tahu teman-teman kamar sebelah. Malu aku kalau mereka sampai tahu. Jadi, malam itu aku berjalan-jalan sepanjang koridor, niatnya mau menemui si Mimin, seorang perempuan yang nyasar ke sini, karena stres, seketika bapaknya naik pamor dan terberita di mana-mana, di koran-koran bungkus teri, koran gorengan, Koran yang mau didaur ulang, pokoknya segala macam koran lah, di radio juga ada, sampai gossip pagi pun ada. Ya, maklumlah…koruptor kelas ikan padang, jadi makmum pada ritual korupsi jama’ah.
Kulihat jam dinding, ah, masih jam 12 tepat
Tapi tak seperti biasanya, kamar Mimin kok cahayanya remang-remang, biasanya terang. Lalu aku mengendap-ngendap, mengintip dari kaca jendela. Melihat pemandangan di dalam, dadaku sesak, mataku melotot. Ternyata ada 5 orang berbaju putih-putih tanpa celana, sedang..sedang..sedang, aaahh, maksudku sedang menindih dan main kuda-kudaan secara bergantian dengan si Mimin. Kulihat Mimin tak berdaya,ternyata salah satu dari mereka adalah bapak yang kepalanya putih mirip kucing seperti yang kuceritakan tadi.
Aku ketakutan dan lari ke kamar, kukunci pintu, takut kejadian tindih-menindih jatuh giliran padaku. Kejadian tadi tepat jam 12, aku paksakan untuk mengingat, agar tidak lupa bahwa kejadianya tepat jam 12.
Aku bingung, maka kutuliskan saja : si Mimin ditindih oleh 5 orang, salah satunya bapak berambut putih, baju mereka putih, tanpa celana putih, tepat jam 12 saat itu.
Paginya, aku berpikir keras, seperti apa rupa bayi si Mimin, apakah kepalanya berbulu kucing, atau dia juga lahir gila seperti Mimin, atau berbaju putih tanpa celana putih, atau semacam apa?
Hari-hari berikutnya aku hanya diam saja tentang kejadian itu.

(SAMBIL BERCERMIN)

Seperti yang terlihat, aku sebenarnya tidak gila. Aku bergelar sarjana dari insitut terkemuka di negeri ini. Aku masih muda, masih percaya Tuhan, dan dulunya aku mapan lho. Yah, ternyata gelar akademik juga tidak menjamin. Percayalah! Aku pun tahu ini rumah sakit jiwa. Hah, biarlah.
Aku cuma disangka gila oleh orang-orang di sini dan di luar sana juga. Tapi, apakah salah jika aku membebaskan jiwa yang terkekang oleh jasad. Aku seorang pembebas, telah kubebaskan juga otaknya yang kotor. Kadang lidah mereka terlalu panjang, sehingga untuk menjilat es krim dan lollipop saja susah. Aku disuruh gini, mesti gitu,…gini-gitu,gini-gitu,gini-gitu…gundul mbahmu. Memangnya aku ga punya setir apa? Bapakku memang gundul, maka kuletakkan saja pisau yang telah kuasah berkali hingga kilat di jantungnya, habis perkara.
Aku bukan pembunuh, akulah si pembebas itu sendiri. Telah kupersiapkan waktunya untuk mati, itu merupakan jasa terbesar yang kuperbuat Bapak! Untuk ibu juga, yang telah kau biarkan ia duduk di tepi pantai menatap matahari terbenam berharap bebas. Kebebasan itu sendiri, kosong melompong di dalam mata ibu, yang memantul ke langit, mengembara ke laut lepas. Padahal laut itu sungguh bukan laut sama sekali. Ia telah menjadi lukisan, semacam lukisan kabut dan cakrawala itu menjadi kabut yang jauh, yang kelabu, yang melenyapkan bayang-bayang…
Betapa indah kematian dengan persiapannya dan kegagahannya juga

(MENATAP KE JAM DINDING, BERPIKIR SEJENAK DAN MENGHELA NAFAS PANJANG)

Ah, masih jam 12 tepat, tak lewat sedetik pun
Kenapa aku mesti mikir, bukankah pikiran telah lama pamit dari kepalaku ini, pikiran yang memusingkan. Sering aku lelah dengan diriku sendiri. Baiknya aku gila beneran, dan setiap hari aku berdoa kepada Tuhan agar betul-betul gila.
Doaku : Tuhan, jadikanlah aku gila, agar bebas dari pikiran sehat yang menjerumuskan aku ke dalam kejahatan. Jadikanlah aku gila agar hidupku menjadi suci murni dan jauh dari kebusukan. Kabulkanlah permintaanku ya Tuhan, agar kiranya kau kuburkan aku dalam kegilaan abadi. Jadikanlah aku manusia gila segila-gilanya manusia yang pernah ada. Hancurkanlah penalaranku, kacaukanlah jiwaku, berkatilah aku dengan kegilaan yang membebaskan aku dari keserbawajaran dunia yang muak.
Benarkah aku membunuh bapakku? Kalau ditelisik dengan teliti, barangkali akan terbukti juga aku tidak pernah membunuh bapakku. Lebih tepat dikatakan, bapakku telah membuat aku membunuhnya. Bapakku sengaja membuat aku membunuhnya, supaya ia tidak susah bunuh diri. Berarti ia yang menuntun tanganku ini agar ia cepat sampai ke alam baka. Aku hanya memenuhi permintaanya.
Sebenarnya juga, aku masih sadar dan tahu betul kalau aku belum terlalu gila sebenarnya. Apa bedanya pura-pura gila dengan sebenar-benar gila? Atau yang gila dengan yang waras? Apakah perbedaan itu penting.
Penting bila dianggap penting, penting atas kepentingan siapa, seberapa penting bila penting, penting dipentingkan, perpentingan, dipentingi, penting tidak penting, penting harus penting, penting…tak penting…penting…tak penting…penting…tak penting! Pilih sendirilah.
Tidak begitu penting apakah ada itu ada atau tidak ada.
Ada
Ketiadaan
Menjadi…
Jam 12 tepat.
Aku masih ingat, ketika aku duduk-duduk di belakang kamar pengap ini, mengahadap ke laut. Dari jam 12 sampai jam 12. Entah siapa, ada dua orang duduk berduaan di bangku sebelah. Karena aku sendiri, maka kumencuri dengar percakapan mereka. Mungkin mereka adalah pasangan tua. Bukan, mereka bukan suami-istri tua, mereka adalah duda dan janda, duda kira-kira berumur 90, janda berumur 80 tahun. Aku juga menyangka mereka sama seperti aku, toh buktinya mereka ada di sini.
Pembicaraan mereka seperti ini

“Aku heran, kenapa kau belum mati juga” Tanya si duda

“Memangnya kenapa?” Balas si janda “Tapi sebentar lagi aku akan mati”

“Ah, mana bisa. Aku kan lebih tua dari kau!”

“Tidak, aku harusnya duluan. Lelaki bisa lebih bertahan daripada wanita”

“Teori macam apa itu, pokoknya aku duluan!”

“Tapi aku suka kematian” Jawab si janda

“Aku juga”

Mereka diam sejenak

“Tapi aku tidak bisa hidup tanpamu” si janda memulai percakapan lagi

“Harus bisa.”

“Kenapa?”

“Harus ya harus”

“Pasti aku selalu merindukanmu!”

“Terserah”

“Kau kok gitu sih?”

“Kau jutek”

“Kau juga”

“Biru” kata si duda

“Biru” balas si janda

“Membayang, mengawasi”

“Siapa?” si janda merangkul lengan duda dengan sangat ketakutan

“Hahahahahah… Kau lucu!”

“Ya, kau kira kematian itu lucu, hah?”

“Mati dalam kegembiraan apa salahnya, yang penting aku mencintai kau hingga saat nanti”

“Ah, gombal. Biarlah, aku juga mencintai kau”

“Kau wanita tua”

“Kau lelaki lapuk”

“Kau keriput”

“Kau mengkerut”

Keduanya tertawa menikmati matahari jam 12 saat itu,
Semuanya membuatku bingung .

(SAMBIL GELENG KEPALA, LALU MOVING MENDEKATI MENAKIN SUSTER)

Pokoknya aku tak mau lagi dipasung, sinting! Kalau tidak, aku goda kau sampai kewarasanku mampir…
Oh… hampir lupa!
Mumpung sekarang jam 12, aku akan meninggalkan pesan buat teman-temanku : enak jadi orang gila apalagi dianggap gila, daripada waras tapi ketahuan gila.
Gedebag..gedebug..gedebag..gedebug!!!
Tralala..trilili..tralala..trilili..


(LAMPU PERLAHAN-LAHAN REDUP, DAN MATI)

PEMENTASAN USAI

Padang-M.Bungo, …Juni-Juli 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar