Minggu, 12 Maret 2023

Monolog – SIDANG JEMBATAN : Adhy Pratama


Setting : Musik bertaluan dari belakang layar, sementara layar masih tertutup. Dari tempat penonton hingga depan panggung terbentang sebuah jembatan menyentuh lantai, namun ada pegangan tangan dikiri dan kanan. Seorang lelaki, mencerminkan kemiskinan berjalan ditengah-tengah penonton meniti jembatan. Ruangan benar-benar gelap, cahaya hanya dibelakang layar. Lelaki ini membawa lampion terang kemerahan. Berjalan dengan pelan dan hati-hati, tempo berjalan lambat namun tempo berbicara sedang.

Lelaki (L) : 
Aku rindu, aku benar-benar merindukan (pause, berhenti, memandang sekeliling) saat suara rakyat adalah suara Tuhan, saat suara rakyat mengalun dengan lantang. (menghadap kekanan, lampion seperti menerangi bawah jembatan) rakyat adalah otak, bukan kelingking, yang seandainya ada amputasi, (pause) orang gila pun lebih memotong kelingking daripada mengorbankan otaknya. (melanjutkan berjalan dengan hati-hati, sesekali memegangi tali jembatan)

L : 
Melihat jembatan ini, menitinya dengan hati-hati, teringat pada Almarhum Pak Jumadi. Dia kepala desa kami yang telah meninggal 3 tahun yang lalu,(pause) kepala desa terbaik sedunia, kepala desa terbaik di akhirat. Saat itulah, pemimpin benar-benar menjadi wakil rakyat, mewakili suara rakyat, dia juaranya. (pause) aku teringat ketika dia dilantik, 40 tahun yang lalu, ia berkata (menirukan suara dan gesture Jumadi) aku punya dua buah toko didesa ini, aku juga punya lahan kelapa sawit yang luas, untuk itu, seluruh gajiku serta tunjangannya sebagai kepala desa, aku hibahkan ke kas desa, agar desa kita semakin maju dan jaya, melebihi desa-desa lain yang ada disekitar (pause) aku bersorak (pause) tidak hanya aku, tapi seluruh warga desa bersorak. Semenjak saat itu, Jumadi dipastikan menjadi kepala desa seumur hidupnya. Ketika dia meninggal (pause, terlihat sedih) langit ikut mendung, seluruh warga muram bahkan anak kecil yang belum mengerti apa-apa, ikut terisak. Kami kehilangan, kami kehilangan ksatria, kami kehilangan (pause) raja kecil yang arif bijaksana (melanjutkan berjalan)

L : 
Setahun sebelum dia meninggal, jembatan ini putus. Dalam kondisi tubuh yang lemah dan sakit-sakitan, ia pimpin rapat. Seperti sidang DPR yang terhormat, kami dianggapnya anggota dewan, (pause) takkan satu perkara pun dia putuskan, bila tidak ada pendapat dari kami. Kami warga yang bodoh, member pendapat berdasarkan hati dan perut kami. Sama sekali tidak difikirkan, (tertawa kecil) tapi dia rela mendengarkan, (pause) aku dengar, warga pelan-pelan berdoa untuk kesembuhannya, bahkan ada pula doa yang berbisik “biarkan Jumadi hidup selamanya ya Tuhan” (pause, melanjutkan berjalan,hingga sampai kepanggung)

L : 
Sidang terakhir dihidupnya, takkan pernah terlupa olehku (layar perlahan terbuka, cahaya panggung terang benderang, setting panggung; sebuah meja bertuliskan Kepala Desa, beberapa kursi dan minuman untuk peserta rapat) Sidang ini, kenangan terakhir warga bersama kades sepanjang masa

(L keluar dari panggung, kembali dengan menggunakan baju batik dan peci duduk di meja depan)

L : 
Assalamualaikum, para warga peserta rapat yang budiman, yang rela menyempatkan diri untuk hadir dalam rapat desa ini. Selamat pagi pula untuk yang berbeda keyakinan, seperti semboyan Indonesia, meski kita berbeda, tidak ada yang bisa menghalangi kita untuk bekerja sama membangun desa ini. (pause, menarik nafas panjang) yang ingin saya ungkapkan pada kalian ialah, perlunya perbaikan atas jembatan penghubung desa kita ke desa sebelah. Karena didesa sebelah itu ada SMP, jadi warga kita kesulitan untuk pergi kesekolah selama tidak ada perbaikan terhadap jembatan itu. Saya ingin mendengar, saran dan masukan dari bapak-bapak, ibu-ibu sekalian, bagaimana seharusnya kita lakukan terhadap jembatan putus itu?

L : 
(pindah keposisi peserta rapat, melepas pecinya dan mengikat sarung diperut) Saya, Pak Kades mau kasih saran saya begitu. Jadi begini pak kades begitu. Kan, dibelakang rumah saya yah pak kades, begitu, ada banyak pohon bambu begitu. Kita sudah semestinya itu pak kades begitu, perbaiki jembatan begitu. Kalau butuh banyak batang bamboo, bisa ambil dibelakang rumah saya beitu. Tapi jangan banyak-banyak pak kades begitu, lima batang saja begitu, saya rugi nanti begitu. Kalau mau lebih tidak apa-apa, begitu, tapi (agak malu-malu) bayar begitu.

L : 
(pindah tempat duduk) Huh! Payah tuh pak Kades, bah! Dia mau nolong (o ditekan) tapi pelitnya minta ampun pak kades.

L : 
(pindah ketempat posisi kades semula, seraya mengembalikan sarung ke atas pundak dan menggunakan peci) begini mas ucok, sama mas Azis, bagus juga idenya perbaiki jembatan itu pakai bamboo, walaupun Cuma lima batang saja yang gratis tapi sisanya bayar, saya kira duit kas desa (pause, memegang dada) cukup untuk membuatnya.

L : 
(pindah ketempat duduk, lepaskan peci dan sarung) maaf menyela, pak kades. Sebagai pemuda, saya berharap rehabilitasi jembatan ini lebih berupa peningkatan. Tentu, agar mobilisasi penduduk desa menjadi lebih efektif dan efisien, Pak Kades. Tentu, jembatan ini perlu kita buat berbahan rabat beton, dengan memasukkan proposal kepada pihak kecamatan atau kabupaten … (terpotong)

L : 
(pindah tempat duduk, sarung dipakai diatas kepala, peci digunakan sebagai kipas) gen padeak! Mobisasi-mobisasi, rebatisasi-rebatisasi, pektip-pesien, apa itu? Mentang-mentang kamu S2, kita didesa dek-dek, oi. Proposal-proposal jano tuh? Aku tidak setuju sama proposal-proposal tuh pak kades, lebih baik jelek tapi kita buat sendiri, dari pada tak tau jelek atau bagus minta sama orang, pakai proposal-proposal tuh.

L : 
(kembali ketempat kades) tidak boleh mengecilkan pendapat orang lain, tapi tidak pulo dibolehkan ego sendiri dikedepankan. Sebenarnya, maaf nih dek Pendi, saya juga tidak terlalu tertarik sama proposal-proposal itu. Pengemis elit, kalau menurut saya.

L : 
(kembali keposisi pemuda) tapi pak kades, urusan membangun jembatan memang tugas mereka, bagaimana mereka bisa berleha-leha sedangkan jembatan kita putus! Saya sudah banyak mempelajari tentang ilmu administrasi Negara, kita punya hak pak Kades, kita meminta hak kita! Kita menuntut hal yang memang seharusnya kita miliki!

L : 
(kembali ketempat ibu-ibu) oi dek-dek, ndak kamu belajar terasi Negara, gen, ndak tauco Negara gen, memangnya tuh jembatan bisa mulai dibuat besok! Kita harus menunggu sampai berapa lama!

L : 
(kembali ketempat kades) Saya kira ada yang bisa mengambil jalan tengahnya?

L : 
(kembali ketempat penonton, sarung dipakai seperti biasa, peci tetap digunakan) Assalamualaikum warohmatullahi wabarakatuh (pause, menarik nafas panjang) seluruh warga desa yang budiman, saya hanya ingin menengahi saja. Ini ide saya bukan menjatuhkan keseluruhan pihak, saya benar-benar minta maaf, menurut saya pak kades dan seluruh warga desa yang budiman (pause) kita tetap masukkan proposal pembangunan ke kecamatan atau kabupaten, namun sambil menunggu pembangunan tersebut bisa berjalan sesuai yang diharapkan, kita bangun dulu jembatan semi-permanen manggunakan bamboo dari belakang rumah Azis, (pause) dan bekerja sama seluruh warga untuk membangun jembatan itu secepatnya.

L : 
(kembali ketempat kades) setuju, sekali, saya juga yakin semua warga setuju. Karena dengan saran terakhir itu, seluruh saran kalian diterima dan digabungkan menjadi satu. Kita mulai bekerja besok! Bagaimana, siap! (disambut sahutan “siap” dibelakang)

L : 
(kembali kedepan panggung, mengambil lampion, lampu dalam panggung kembali redup) saya masih cukup ingat sidang itu (pause, berjalan kembali meniti jembatan), esoknya, jembatan ini mulai dibangun dengan semangat kebrsamaan warga, walau sederhana, namun bisa membuat anak-anak desa bisa bersekolah. Hebat, jembatan yang hebat (pause,berjalan balik dijembatan, kembali kepanggung)

L :
(terhenti, ketika didepan panggung) sampai saat ini, setelah tiga tahun berlalu sidang itu, jembatan kami tidak pernah berubah, tetap sederhana. Dari bambu, yang gratis hanya 5 batang. Tentang proposal, (pause) saya ingat saya ikut mengantarkannya ke Kantor Kecamatan, kemudian bersama-sama ke Dinas PU. Tapi, kelanjutannya, (tertawa) saya tidak tahu dan tidak mau tahu (masuk kebalik layar)


Selesai


PERHATIAN!

Bila Anda akan mementaskan naskah ini mohon untuk menghubungi penulis naskah untuk sekedar pemberitahuan.
Penulis: Adhy Pratama
Email: adhypratama_ibra@yahoo.com
Facebook: https://www.facebook.com/adhyra.irianto

Tidak ada komentar:

Posting Komentar