Minggu, 08 Agustus 2010

Monolog - MESIN TIK YANG MATI




Monolog
MESIN TIK YANG MATI



[seting ]
Sebuah ruangan sempit yang hanya berukuran tidak lebih dari 2×2 meter dengan penerangan lampu pijar bekekuatan 15 watt yang tergantung di tengah-tengah ruangan dan jendela kecil yang tampaknya dipaksakan ada mengingat ruangan sempit ini memerlukan sirkulasi udara dan cahaya, sehingga menampakkan bayangan samar diatas lantai semen yang sudah gempur dibeberapa tempat sehingga terlihat tanah yang berada dibawah lapisan semennya. Di sudut ruangan disebrang sisi jendela terdapat meja kayu yang salah satu kakinya harus diganjal dengan batu bata dan tak lupa pula lengkap dengan bangku reotnya yang tampak sedikit mempermanis suasana diruangan dengan tekstur kayunya yang berwarna coklat tua yang tampak mulai memudar, di atas meja terdapat sebuah mesin tik tua berhiaskan ornamen-ornamen dari karat yang dari penampilannya saja rasanya layak mesin tik itu mendapatkan penghargaan “lifetime achievement typewriter Award” atas jasanya yang sudah menerbitkan ratusan juta lembar naskah demi naskah. Sekilas pemandangan ini rasanya hanya bisa dijumpai di museum-museum yang menampilkan diorama tentang kehidupan dan suasana jaman perang, tapi ruangan sempit ini memang ada dan bahkan teramat nyata untuk kita sadari.

[Adegan ]

Sore hari menghantarkan sinarnya yang berwarna kemerahan saat seorang lelaki tua yang kira-kira berumur tidak kurang dari 70 tahun tampak memasuki ruangan sempit, terdengar derit saat pintu ruangan tersebut dibuka yang terdengar seolah tak rela siapapun memasuki ruangan sempit tersebut. Sesaat lelaki tua itu tampak diam sejenak memperhatikan keadaan sekitar seolah ingin benar-benar memastikan ruangan ini memang siap untuknya. Setelah yakin dengan sigap ia menarik bangku dan duduk disinggasana kebesarannya seperti halnya raja-raja tempo dulu pada masa kejayaan mereka. Ya di ruangan inilah dia menjadi raja bagi dirinya dan rakyatnya yang terdiri dari perabot seadanya turut tunduk kepada dirinya. Sebagaimana raja yang berdaulat maka lelaki tua itu memutuskan untuk mengeluarkan titahnya, perlahan jari tangannya mulai memainkan tuts-tuts mesin tiknya [ctak..ctek… ctak…ctek…ctak..ta..tak….tikkk..tikk takkk tak..ctak….ctik…kreeeeeekkkk…ctek…ctak…tek… tekkk…takk…tikk..tek…takkk…ctakk…kreeekkkkkk].
Tiba tiba terdengar suara yang sangat mengejutkan lelaki tua itu, ia mendapati mesin tik tuanya bergetar tak karuan seakan-akan hilang kendali dan terus menerus seperti itu, ia bingung atas kelakuan mesin tik miliknya yang seolah hendak berbuat makar atas dirinya.

[Dialog]
“Hentikan !!!! sudah cukup, sudah muak aku meladeni kau dan kelakuan konyolmu tiap hari. Sudah cukup aku biarkan diriku mendengarkan celotehan konyolmu, bahkan jarimu saja sudah tak kuasa lagi mengikuti kemauan otakmu yang sudah seharusnya kau kubur puluhan tahun yang lalu. Aku lelah !!!!” jerit suara yang berasal dari mesin tik itu.

“Apa yang kau bicarakan sudah bosankah kau bersenda gurau denganku, bermain kata aksara demi aksara, melihat betapa anggunnya pita karbon yang selalu berputar mengusap lembut setiap helai demi helai kertas yang menjadi buah cinta kita bersama, mengapa kini kau berkata seperti itu kepadaku? ” tanya lelaki tua itu.

“Aku sudah muak denganmu, tidakkah kau sadar dengan dirimu sekarang? “, jawab mesin tik yang dibalas juga dengan tanyanya.

“Memangnya kenapa aku sekarang?” tanya lelaki tua itu lagi.

“Hah… ternyata kau pun tak sadar, dulu kau memang seorang yang gagah dan berkuasa, setiap orang mendengarkanmu bahkan akupun merasa senang bisa menemanimu, tapi sekarang… lihatlah dirimu, kau ini sekarang hanyalah seorang raja tua yang sudah kehilangan segalanya, ocehanmu sekarang tak lebih dari sekedar omong kosong belaka, kau tak lagi berguna!” jawab mesin tik.

“ Apa katamu ? kau pikir hanya karena usiaku yang menua dan keriput sudah memenuhi sekujur badanku, aku tak lagi dapat memberikan arti dari keberadaanku, apakah arti dari keberadaanku ini hanyalah sia-sia belaka… jangan kau pikir aku akan berhenti memberikan makna hidupku ini kepada dunia!”, kata si lelaki tua dengan emosi yang teratahan.

“Dunia? kau katakan makna hidupmu pada dunia ha… ha….ha…ha…ha…” Tawa mesin tik itu.

“Apa yang kau tertawakan?” Tanya lelaki tua dengan perasaan yang terluka.

“Dunia mana yang kau maksud ? dunia mana yang mau menerimamu, menerima seorang lelaki tua yang tak ada artinya” jawab mesin tik.

“Dunia yang mau menerima dan menghargai setiap hikmah dan nilai-nilai kehidupan mereka yang telah membangunnya, dunia yang menghargai setiap kisah dari seorang tua yang ingin membagi apa yang ia rasakan dan apa yang ia alami, dunia yang memandang seorang bukan dari siapa orang itu, melainkan apa yang telah ia itu perbuat, dunia yang akan selalu belajar dari masa lalunya. Dunia itulah yang akan selalu mengakui keberadaan seorang lelaki tua sepertiku.” jawab lelaki tua itu dengan pancaran mata penuh dengan harapan dan keyakinan.
“Dunia itu telah lama mati terkubur bersama tulang-belulang orang-orang sepertimu!. Kau terlalu lama hidup dalam kerajaan sempitmu sehingga kau tak lagi menyadari apa yang telah berubah. Duniamu sudah berubah menjadi dunia yang penuh dengan penyakit-penyakit yang membuat setiap orang lupa akan makna dirinya dan darimana ia berasal. Duniamu sudah berubah dimana sekarang kepalsuanlah yang menjadi rajanya, kemunafikan yang menjadi singgasananya dan bahkan sang raja pun sudah mengeluarkan titahnya sehingga kebencian hinggap disetiap hati, tanpa menyisakan sedikitpun nurani dan rasa keadilan dari warisan duniamu, duniamu hanya utopis belaka hanya impian bagi kerajaan konyolmu!.” Balas mesin tik dengan ketus.

“ya.. duniaku sekarang memang hanya utopis bagi jiwa yang telah kehilangan akarnya sepertimu. Tapi di luar 
sana impianku akan tetap hidup bagi setiap orang yang tahu darimana ia berasal. Dan mimpiku kan menjadi jawaban dari setiap jiwa yang terus menggantungkan harapannya pada matahari.”

“Ha…ha…ha… betapa naifnya dirimu, bahkan mataharipun ada kalanya tenggelam dan berhenti tuk menerangi dunia, dan orang tua sepertimu sudah saatnya hilang dan punah bersama kenaifanmu.” Jawab kembali mesin tik yang disertai tawanya.

“Berhenti? Bagiku hanya ada 2 titik dalam kehidupanku, yakni saat kelahiranku dan akhir kehidupanku dan selama waktuku belum tiba aku tidak akan pernah berhenti.” Kembali lelaki tua itu berkata.
“kau sudah tamat… KAU SUDAH TAMAT!!!!.”

“Tidak …. Tidak akan pernah!!!” bantah lelaki tua itu.

“Seribu kalipun kau mengatakan tidak keadaan akan tetap berubah. Lihatlah keluar jendela, lihatlah bagaimana mataharipun perlahan tenggelam dan hilang ditelan malam.” Kembali mesin tik itu berkata.

“hentikan !!!.” kemarahan lelaki tua itupun memuncak dan dengan kemarahan yang teramat sangat dilemparkannya mesin tik itu sehingga jatuh kelantai yang keras, mesin tik itu pun terkapar tiada daya dan mati menjemput ajalnya, meninggalkan segala kepicikan dan kebodohannya yang membunuhnya sendiri.

Lelaki tua itu bingung, tersentak ia dalam pikiran nanarnya, yang ia pikir selama ini bahwa sahabat setianya adalah mesin tik itu, disaat anak dan istrinya perlahan meninggalkannya, tapi sekarang ia mendapati sahabat setianya kinipun telah meninggalkannya, menghianatinya. Kini dalam kesedihan dan kemarahannya yang bercampur menjadi satu, ia bagaikan partikel kecil yang terhempas ke kanan dan ke kiri, ke atas dan ke bawah, ke depan dan ke belakang dalam dunia yang kini tak lagi menerima keberadaan dirinya. Ia merasa perlahan dirinya terhisap ke dalam pusaran lubang hitam dimana setiap materi tak lagi terukur dalam satuan massa-nya lagi, dan tak lagi menjadi milik konstelasi dunia.

Hening sesaat mewarnai suasana sore itu, bahkan lelaki tua itupun masih duduk termangu tanpa tahu apalagi yang harus ia lakukan. Kesedihan masih mewarnai langit senjanya. Perlahan ia bangkit dari lamunannya, berdiri dan menatap sesaat ke arah jendela kecil ruangan itu, memandangi langit senja di cakrawala. Yah matahari kini mulai meninggalkan dunianya dan melepaskan dirinya ke dalam pelukan malam dan membiarkan bulan menuntunya sebagaimana bulan 
kan memberikan setitik harapan bagi jiwa lelah yang menantikan sinar matahari. Kini sudah saatnya bagi dirinya pikir lelaki tua itu, ia membalikkan tubuhnya dan melangkahkan langkah kakinya yang mulai gontai menuju sisi lantai dimana mesin tik-nya yang tak lain sudah menjadi seonggok besi tua yang tak lagi berguna. Perlahan ia mengangkat mesin tik itu, sangat pelan sekali, dengan lembut ia letakkan mesin tik itu dalam pelukannya, ingatan demi ingatan terlintas dalam benaknya, terbayang ia saat ia menggendong anaknya saat masih bayi dulu, dan seperti halnya anaknya ia tahu bahwa ia juga harus berpisah dengan mesin tik miliknya. Dalam keharuan dan air mata yang bergulir diatas pipi keriputnya ia letakkan kembali mesin tik itu keatas meja kayunya dan memandang untuk terakhir kalinya. Perlahan lelaki tua itu membalikkan tubuhnya dan berjalan keluar ruangan sempit itu dan pergi tanpa pernah kembali lagi, meninggalkan kerajaannya, meninggalkan semuanya.

Ruangan sempit itu tak lagi sama, sekarang ruangan itu hanyalah kerajaan tanpa raja yang duduk di singgasana kebesarannya, tanpa ada lagi titah yang dulu mewarnai hari-hari dalam ruangan itu. Sang raja kini sudah menemukan kerajaannya sendiri, di dalam kerajaan hatinya yang takkan pernah meninggalkannya bersama kebijaksanaannya dan dalam pelukan malam yang menjadi singgasananya serta angin malam yang kan selalu meniupkan dan membawa titahnya mengarungi angkasa, memasuki mimpi-mimpi malam setiap insan yang terlelap dalam mimpi hari esok mereka hingga mereka terbangun dan menjadi raja bagi diri mereka sendiri, raja bagi setiap harapan mereka sendiri. 

*****TAMAT*****

1 komentar: