Minggu, 08 Agustus 2010

Monolog : BONEKA SANG PERTAPA - Whani Darmawan




metaNIETZSCHE
BONEKA SANG PERTAPA
Oleh : Whani Darmawan

“Dari semua yang telah ditulis, aku hanya mencintai apa yang ditulis seseorang dengan darahnya. Menulislah dengan darah dan kau akan dapati bahwa darah itu roh.”
(Neitzsche, Sabda Zarathustra)

(Sebuah interior rumah yang pengap, kotor, dengan sedikit cahaya masuk di dalamnya. Di dalam kegelapan itu tinggal seorang lelaki dengan raut muka keruh dan penampilan kucel. Di dalam ruangan itu terdapat ratusan buku berserakan, mesin ketik, sekelempit tikar kumuh, kursi roda tua, lengkap dengan “kecohan” yang terikat di tangan kursi, kapstock yang digantungi sebuah jubah putih. Tokoh kita yang bernama Bagal ini sedikit-sedikit mendehem, seolah selalu mengalir dahak di tenggorokannya dan tidak pernah berhasil dikeluarkan. Dalam kepengapan itulah tokoh sandiwara tunggal ini bergumam dengan kata-kata tidak jelas, tetapi lama kelamaan menjadi ledakan....)

“Bagaaal! Kamu sungguh dunguu! Apa yang kau takutkan dari pertikaian silang-saling itu!? Bukankah setiap orang punya sesuatu yang hak yang patut mereka bela. Kamu? Apa yang sudah kamu lakukan dengan itu semua? Berpangku tangan merenungi semua ini sebagai tragedi bangsa? Apa gunanya kami tunggu jika hanya segitu nyalimu!”

Tidak! Masa itu sudah tamat. IA tidak akan bangga dengan tingkah membabi-buta. Kalian sangka mereka membela apa jika bukan kebodohan yang mereka usung di kepala mereka!?

“Gobloog! Seseorang membutuhkan alasan untuk berperang!”

Apakah kalian tidak memiliki alasan untuk tidak berperang? IA yang kalian agungkan itu hanyalah fiksi kedunguan kalian! Haaaii, budaaakk! Beribu-ribu orang kehilangan nyawa dalam perseturuan dan rasa bela dungu, yang tidak pernah jelas sumbernya, dan berlari dari tanah kelahiran mereka dengan kepala kosong dan kehilangan keyakinan untuk hidup, apa yang kalian lakukan, haiii budaaaakk!? Terus memenggal kepala setiap orang, sambil mengibarkan panji-panji, bendera, sambil menyerukan namanya! Nama siapaaaaaa!? Nama siapaaaa!

(Tokoh sandiwara tunggal kita ini menjadi gelisah, terengah-engah. Ia seperti seseorang yang tengah mengalami tekanan. Dalam kepanikan itulah penyakit psikosomatis dan schizofrenik menguasainya, tubuhnya seperti stroke, dan semakin ia biacra, semakin tidak bisa berhenti. Beberapa saat kemudian terdengar dentang lonceng – seperti lonceng gereja – lelaki ini kian gelisah. Membuka jendela dan melihat suatu arah, menutupnya kembali)


Saya ceritakan semua ini tidak untuk mengupayakan kebebasan saya. Tidak pula sekedar untuk mengenang. (tiba-tiba – semacam mengerang – kesakitan) Saya ingin............menjebol.......... Menjebol............ Sekat dan tembok. Jalan-jalan buntu.

(ia berusaha meredakan gejolak dalam dirinya. Lewat)

Pertama adalah masa-masa lurus. Masa-masa kepolosan; seorang bocah bertingkah, bermimpi menjadi nabi. Secara pasti saya tak tahu apa yang membawa saya ke arah jalan itu, tetapi selalu, setiap kali suara itu menggema suatu terkaman ajaib mencengkram jiwa saya. Saya merasa seperti dikejar hutang. Bulu kuduk saya merinding dan jiwa saya terombang-ambing. Demi apapun......... yang kemudian tidak saya percayai itu, saya tidak bisa berontak dari semua ini. Bahkan sebelum dan sesudah saya keluar dari tempat itu.

(Dentang lonceng kembali menggema)

Banyak orang memandang sinis kepada saya, menganggap bahwa keputusan untuk memasuki rumah Tuhan itu adalah keputusan romantik dan heroik dari seseorang yang baru saja terimbas proyek spiritual instant. Tidak apa-apa. Tetapi tidak sedikit yang mengucap syukur dan menyebut kebesaran namaNya – heh, apa hubungannya ucap syukur mereka dengan hisup saya, Saya sendiri tidak tahu – waktu itu – apakah harus bersyukur atau tidak. Bahkan setelah saya keluar dari sana dan mentaati ini semua. Tetapi yang jelas rasa was-was dan bertanya-tanya senantiasa mengaduk-aduk jiwa saya, sampai saya menemukan jawabannya. Jawaban? Betulkah ini jawaban? Barangkali kekonyolan? Saya tidak tahu apakah saya harus mengutuk ataukah bersyukur.

(Menggerus dahak di tenggorokannya dan meludahkannya)

Ah, apa yang tersisa dari tubuh seorang pesakitan? Flu, bengek, sakit kepala, insomnia, dan segala penyakit tak bernama.

(Matanya tertumbuk pada jubah putih yang – sesungguhnya tidak lagi dikatakan putih – yang tergantung di kapstok. Ia seperti diingatkan sesuatu hal. Sambil menunjuk ke arah jubah yang tergantung itupun ia bicara,............................)

Jalan sesat sesaat itu telah saya temukan seusai saya mengikuti sebuah proyek spiritual instant. Saya didaulat menjadi tangan kanan seorang anak tukang kayu dari Nazareth, yang akhirnya berlawanan arah pandangan. Wah, saya begitu menghayatinya. Saya begitu menghamba pada peran itu. Saya begitu terhanyutkan. Saya selami argumen-argumen penyangkalannya, ambigu antara kekaguman dan kebencian terhadap gurunya itu, hingga pada akhirnya ia harus menyerahkan sang almazi kepada Roma. Saya begitu terharu-biru oleh peran itu. Sampai sesudahnya – maaf, ini narcis, tapi biarkan saya sedikit mengenangnya – para gadis dan remaja mengelukkan saya, “Aaaa! Itu love uuuu! (Menyanyikan bait-bait lagu dalam Jesus Christ Super Star) My mind is clear now. At last come to well, Itu cant see where we all soon will be. If you strip away, the mith from the man, you cant see where we all soon will be. Je.......... Ah, proyek spiritual instant.

Pada waktu saya memerankan tokoh – yang oleh banyak orang – disangka sebagai pengkhianat itulah, rasanya saya seperti dikalungi lingkaran suci di mana segala kepekaan menjadi berlebih-lebihan. Saya menjadi sangat peka terhadap segala hal. Saya seperti mengalami pencerahan. Tetapi rasa itu sekaligus mencemaskan saya. Bisakah saya menjalani selibat itu, andai saya bisa sampai ke sana? Ataukah ini rasa sombong seseorang yang merasa terlibat? Hoeekk! Cuh! (Menggerus dahak, meludah). Saya terjepit kebanggaan – kesombongan tepatnya, dan ketakutan. Bisakah saudara bayangkan dan mengerti kalau waktu itu saya harus menangis semalaman, berusaha melepaskan diri dari karuni............ah, belenggu..............atau apa itu.

Ketika proyek itu selesai, mulailah jarum-jarum itu bekerja di dalam perasaan dan jiwa saya. Ya Tuhan – keluh saya waktu itu – apa yang Engkau kehendaki dariku. Sekarang aku lelah dan sedih hati. Dengarlah, sudah kupenuhi lebih dari yang diharapkan dariku. Cobaan selama tiga tahun rasanya seperti tigapuluh tahun. Dapatkan orang lain kau tuntu sebanyak itu?! Saya seperti murid silat yang jatuh bangun bertarung dengan para suhu. Gedeblag, blug, gedeblag, plok, plak. Memar jiwa saya.

(menyanyikan potongan Lagu dalam opera Jesus Christ Super Star episode di taman Getsemany).

I only want to say/ if there is away/ take this cup away from me for i don’t want to taste its poison/ feel it burn me, I have changed I'm not as sure/ as when we started.

Akhirnya, saya memutuskan untuk menantang persoalan itu. Jika anda dihadapkan pada ketakutan dan tidak ada pilihan di luarnya, maka memasuki persoalan itu menjadi pilihan mutlak untuk melunaskan kegelisahan itu. Itu yang akan saya lakukan. Kesenangan, kegilaan, kekecewaan, kepuasan, apa yang harus ditakuti? Bukankah itu adalah urusan resiko yang belum bisa kita lihat ujung tanduknya.

(bersenandung)
Tidakkan kutinggalkan engkau
Sebagai yatim piatu
Aku akan kembali padamu?

“Para Pangon muda yang terkasih dalam roh kudus, kenapakah kita bisa bertemu muka di rumah Bapa ini? Tidakkah karena tangan-tangannya yang berkerja secara halus itu telah membingbing anda sekalian. Berbahagialah bagi mereka yang telah diketuk hatinya. Karena dengan tanpa berhitung Dia mengetuk hatimu.”

Itu awal mulanya.

Tetapi seperti antara kemayaan suatu kecantikan yang bertemu dengan obsesi birahi ataupun eksperimentasi lelaki, semua perempuan berasa sama. Yang membedakan adalah fantasinya – maaf atas perumpamaan ini. Akibatnya, saya semakin kecewa. Apa yang saya kejar? Siapa yang saya buntuti? Dan denting suara keindahan itu kian lama kian menipis, seirama dengan sangkalan yang muncul semakin kuat. Mana suara itu? Siapa kamu? Semua berubah menjadi fantasi-fantasi yang membingungkan. Tiba-tiba saya menyadari bahwa saya memang sendiri. Lonely with lonelynes. Akulah Thomas Becket yang terbunuh di Katedral. Dengarlah lonceng berkeleneng; bangun pagi, berdoa, kuliah, lonceng, makan siang, baca koran, bobo, lonceng, mandi, belajar, lonceng, silentium magnum. Silentim Magnum. Silentium sakrum. Silentium magnum?

(bersenandung)
Tidakkan kutinggalkan engkau
Sebagai yatim piatu
Aku akan kembali padamu.............

Selang beberapa waktu lamanya saya tinggal di tempat yang saya bayangkan penuh keagungan itu, pertanyaan-pertanyaan itu muncul kembali. Kesombongan dan gede rasa saya runtuh. Ketika malam jatuh dan matahari tertidur, justru kehidupan sedang dimulai. Deraan-deraan itu. Sudah saya coba untuk mengelabui, kutinggalkan ia dengan meloncati pagar, berlari untuk menemukan kehidupan liar dan kembali dengan laku maling saat adzan menggema. Dan saat matahari merekah, kehidupan pun mati. Siapa memburu siapa, siapa membohngi siapa? Dalam kegalauan dan keterbelahan itulah, hadir suatu peristiwa yang sangat sulit saya percayai. Suatu hari dalam perasaan saya datang seorang perempuan. Jangan anda salah sangka, ia sama sekali tak berjubah putih apalagi bersayap. Biasa saja. Pada pukul dua dini hari menjelang puncak keraguan itu, perempuan itu muncul tepat menghadang langkah saya.

“Apa yang engkau gelisahkan, Anakku?” Sapa perempuan itu.

“Semuanya ini hanya bohong!” Kata saya.

“Tidak ada kebohongan apapun.”

“Saya tidak pernah mengenal semua ini.”

”Semuanya tidak bisa seketika.”

“Apa yang kamu mau?”

“Kamu. Apa yang kamu mau!”

“Saya telah menipu. Saya telah menjalani kebohongan.”

“Bukan. Ini bukan kebohongan.”

“Bohong!”

“Bukan!”

“Apa kau mampu membuktikan soal ini? Bisakah kamu mecelikkan mataku bahwa semua ini bukan kebohongan?”

Perempuan itu membuka jendela kamar saya, saudara-saudara. Ia perlihatkan langit cerah biru malam,

“Lihat, hari cerah itu akan digulung oleh awan hitam. Hujan akan jatuh tepat jam lima pagi hari.”

Dan apa yang terjadi saudara-saudara, saya tidak pernah bisa mengelak dari kebenaran itu. Hujan itu runtuh dengan cepat dan berhenti dengan cepat, oo, ini menyakitkan. Saya tahu mungkin saya telah dihadapkan pada kebenaran, tetapi untuk apa jika saya tak pernah memiliki getaran terhadap kebenaran itu. Kebenaran itu tidak pernah bisa diwakilkan dan sampai kepada saya.

Dengan semangat dan berteriak-riak mereka menggiring kawanan domba mereka menuju jembatan; seolah hanya ada satu jembatan menuju masa depan! Sesungguhnya, gembala-gembala itu masih sama dengan kawanan domba yang digiringnya!

Bukan. Bukan ini yang saya cari. Saya hanya menemukan kemunafikan. Saya sudah tidak dapat bertahan lebih lama lagi. Maka, menginjak bulan ke tigapuluh enam, sayapun berdiri di mimbar.

“Saudara-saudara yang terkasih. Hari ini saya pamit untuk melanjutkan peziarahan di tempat lain. Barangkali itulah jalan hidup saya yang sesungguhnya. Ini bukan soal baik dan buruk, benar ataupun salah. Barangkali bisa saya sebut sebagai kecocokan. Selamat berpisah, semoga roh yang sama menuntun pilihan langkah hidup kita masing-masing.”

Dan ya saudara-saudara, suara tepuk tangan menggemuruh memenuhi kapel. Tepuk tangan itu menggema. Lihat mulut saya, menggema. Apakah ada pesta. Saya disalami bertubi-tubi, dipeluk berganti-ganti, pundak saya diguncang-guncang, seolah saya ini adalah seorang pahlawan yang penuh keberanian pulang dari medan perang. Selamat untuk apa? Selamat jalan? Selamat pisah? Proficiat? Atau selamat minggat – karena satu pesaing telah gugur di jalan? Inilah panorama absurd anak manusia, di mana persaudaraan, persaingan, kesucian, cinta kasih, ambisi dan cita-cita berbatas maya. Adalah sesuatu yang menakjubkan sekaligus tidak berarti apa-apa, ketika mereka dengan riuh menyalami saya. Yah, datang tak diundang, pulang tak diantar. Saya bukan pecundang yang keluar dengan sembunyi-sembunyi. Tidak. Saya tidak ingin dipestakan orang se desa, hanya untuk disampiri pesan kemuliaan sambil dianiaya. Dengan ini saya tidak pernah berhutang. Tidak, saya tidak pernah berhuntang! Tidak!

“Bagaaaall!”

Oh, tidak! Tidak! Jangan sekarang! Jangan sekarang! Dengar, dengar! Suara itu, suara itu, masih juga memanggil. Padahal sudah saya katakan kalau.........................

“Bagaaaaalll! Di mana kamu Bagaaal! Kembaliii! Kami sudah lama mencarimuuu!”

Tidak. Jangan katakan kalau saya ada di tempat ini. Mengapa dia bisa tahu kalau saya ada di sini? Saudara, masa pertama sudah lewat. Saya tidak punya kesempatan lagi untuk menawar apakah ini panggilan atau bukan. Andai tidur adalah jamu mujarab untuk melupakan. Tetapi bagaimana mungkin, sementara mimpi selalu menghadang di sana. Aaahh!

(ia kemudian menggeliat, seolah seluruh tubuhnya pegal-pegal tak tertanggungkan. Berulang-ulang melap keringat di mukanya. Sangat gelisah. Dengan kasar kemudian memasukkan buku-buku ke dalam kardus dan menutupnya)

Saya sangka saya telah menemukan kebebasan saya. Apa yang kemudian saya temukan di luaran? Apakah kemudian saya menemukan jawaban? Saya tidak menyangka kian terpojok oleh peristiwa absurd yang sulit saya cerna. Bayangkan,.......ah bagaimana saya mengatkannya. Atau begini saja,......... apakah anda pernah bertemu dengan pater sergius, atau keluh orang tentang persekutuan tentang hal ini dengan negara di abad lampau? Apakah menurut anda abad itu telah berlalu, atau – demi berhala segala berhala! – kebiadaban itu telah bertengger di ujung peradaban! Jika saya melakukan penyangkalan itu hanyalah ekspresi kegeraman kerinduan hakiki saya yang tak pernah terpuaskan. Tetapi lain sama sekali dengan apa yang saya peroleh kini; banyak penyangkalan yang dilakukan secara bersamaan dengan pemujaan. Dan, ya sialan. Bagaimana saya harus menggambarkan semua ini.
(terengah-engah menhan geloran dalam perasannya, sampai kemudian sedikit tenang, ia memulai ceritanya).

Bukan sekedar kata surat kabar. Bukan sekedar berita dari mulut ke mulut. Sayalah pelaku konyol pertikaian itu. Sebenarnya sejak semula saya menganggap hal itu adalah ketololan. Tetapi ketika saya tergelubat langsung ke dalam peristiwa, ternyata saya pun telah berposisi. Entah dari mana dimulainya, situasi itu sudah demikian mencekam. Banyak orang berkumpul dengan senjata di tangan. Saya masih juga menduga bahwa peristiwa itu masih jauh di angan. Tolol! Kamu dungu Bagal! Inilah dosa saya yang tak terelakkan. Dungu! Gerombolan itu datang dari berbagai arah dengan cepat. Dan tidak ada lagi pikiran, tidak ada lagi gagasan. Semuanya berlari begitu cepat. Membela diri, menyerang, bertahan, tidak jelas lagi perbedaannya. Kalangkabut para perempuan, pekik perang, darah muncrat, suara si...............si..........ya sialan, ia masih jabang orok. Ia masih seonggok daging mentah ketika parang memisahkan kepala dengan tubuhnya. Saya............... saya........................ooohhh! di manakah malaikat itu berada ketika parang itu menetak nadi besar jabang bayi itu. Ini.........gilaaaa! “Bagaaall! Khotbah macam apalagi yang hendak kamu dendangkan dengan ketenangan yang maha sempurna itu? Omong kosoong! Keyakinan segala keyakinan, adalah pisau baja berkilat. Itulah sang apollo dalam hidup saya!”

(Kesakitan. Mengejang. Meminum obatnya. Sedikit tenang).

Apa yang bisa saya percayai kini. Janganlah bicara iman dan keyakinan kepada saya. Saya telah melewati hal terpait yang tak termeterai oleh kitab-kitab manapun. Sayalah pertapa dengan seribu tujuman bagi masa depan. Bagi saya, menjadi lebih terhormat si “Pembunuh Tuhan” daripada mereka.

“Berbahagialah, wahai, engkau pembunuh Tuhan. Sebab dalam dirimu tersimpan kerinduan dan keberanian untuk memasuki alam yang hakiki. Memasuki petarungan yang sejati. Penyangkalan dan pengingkaranmu, justru teriak seorang anak yang rindu emak. Musafir di padang pasir yang muak akan segala bentuk kemayaan dan fatamorgana.”

Maka mengapa banyak orang yang menuhankan tatanan sempalan itu, sebagai yang segala-galanya? Dan saudara, di pihak saya sendiri, terlalu banyak ketidakberdayaan telah saya temukan; misalnya, “batu karang” itu terlalu lama berpangku tangan. Atau, dalam situasi dan kondisi setempat ini, di mana mereka hanya bisa tumbuh secara tanggung, sesungguhnya mereka tak sempat, bisa dan mungkir memiliki tangan. Tetapi apakah tidak aday bisa ia lakukan. Batu karang itu terlalu lama mendiamkan kemungkaran terjadi, sebagaimana dulu ia berdosa mendiamkan Fehruer menggulung eropa dan mendirikan monumen kebiadaban. “Batu Karang” itu terlalu malu-malu untuk tampil nyata. Dan mereka tidak tahu bagaimana mencintai Tuhan mereka kecuali dengan memaku seorang anak manusia di kayu salib!

(Tiba-tiba sakit kepalanya kambuh. Ia merasa kesakitan dan segera mencari obatnya di antara tumpukan buku.)


Selalu seperti ini. Ia tidak pernah membiarkan saya berpikir jernih. Anda tahu, obat ini tidak hanya berfungsi menyelesaikan sakit kepala saya, tapi juga yang lainnya. Jangan heran kalau saya bisa minum delapan sampai sepuluh butir dalam sehari.

Saudar-saudara, apakah anda termasuk orang yang percaya pada ikatan permainan sosial? Siapa mengerjakan apa, siapa bekerjasama dengan siapa, siapa makan siapa; bahwa struktur dan jabatan sama dengan kemuliaan? (meminum obatnya) Jika hal ini dipertautkan dengan moral, wah, sungguh saya akan melihat panorama bahwa yang disebut manusia adalah badut semata. Seorang dramawan dari Norwegia memaparkan kepada saya, bahwa diri sosial yang sesungguhnya hanya berlaku bagi perdagangan. Dan jika, moral, nurani, keseteiaan, spiritual, imanensi, dipercakapkan dalam wilayah sosial, tak kurang tak lebih ia hanya berlaku sebagai ganjal yang harus diinjak bagi seseorang untuk meraih laba sebanyak-banyaknya. Celakanya, manusia tidak pernah bisa mengelak dari keterjepitan ini. Buah keraguan duniawi itulah yang menyebabkan manusia menjadi monster munafik. Nilai-nilai semu dan kata-kata bodoh: inilah monster-monster yang paling mengerikan bagi banyak orang biasa seperti saya.

Apakah saudara akan membantah pernyataan saya? Silakan, bantah. Sebab bagi saya bantahan macam apapun tidak akan ada gunanya, ketika makna telah melampaui kata-kata, dan kata-kata tak kuasa lagi memenjara makna. Saya telah melampaui si Doktor muda dari Leipzig itu. Saya terlanjur tidak bisa mempercayai lagi pembagian-pembagian wilayah kemanusiaan. Itu omong kosong besar! Tipu-tipu! Itu ganjalan kaki!

(sakit kepalanya kian menjadi).

Mengapa obat ini tidak juga bekerja. Harusnya memang kutelan satu strip seluruhnya.

(Tokoh sandiwara tunggal ini kembali menelan pil. Langsung beberapa butir)

Apa itu yang dinamakan Kehalusan budi oleh para pemilik Tuhan – yang memiliki Tuhan; Tuhan dimiliki (sambil memperagakan memiting kepala seseorang) – yang mensahkan ayat-ayat suci sebagai alat pembunuhan!? Jungkir balik perang kebijakan kata-kata, tatanan yang dijungkirbalikkan dalam cangkak otak setiap orang. Itulah musuh utama yang sampai sekarang melelahkan dan telah menyudutkan saya! Negara, demikian aku menyebutnya, adalah tempat bagi semua peminum racun, yang baik maupun yang buruk; negara, adalah tampat semua orang kehilangan dirinya sendiri, yang baik maupun yang buruk; tempat bagi semua yang perlahan-lahan membunuh dirinya sendiri, - dan menyebutnya, “kehidupan”!

Tapi yang mencelakan saya, dan paling saya benci dalam satu episode hidup saya adalah bahwa saya tidak pernah bisa memiliki kekerasan hati. Celakalah mereka yang hidup tidak memiliki kekerasan hati. Sebab ia akan terombang-ambing masuk dalam alunan gelombang.

“Bagaaaal! Kamu pengecut bagal! Jangan melarikan diri dari kenyataan! Hadapi semua ini seperti banyak orang menghadapinya dengan tawaa! Rupanya kamu perlu ebrguru kepada para politikus, supaya pandanganmu tidak menjadi kaku....”
dan pintar melucu!

“Ternyata kamu tidak pernah bisa cerdas, Bagaaal!”
kalau kecerdasan harus menyengsarakan akal sehat, maka memang bukan saya orangnya

“Bagaaaal!”

brengsek!

(Suasana berlalu)

Ah, ya beginilah yang saya suka. Jika obat itu telah bekerja, rasa sakit itu pergi entah kemana. Ya. Saya sering merasa sakit dan di dalamnya saya rasa tidak pernah ada kesimpulan-kesimpulan yang ditawarkan kepada saya. Ulu hati berdesir-desir seolah saya sedang menghadapi maut di lorong ciut. Menanti, entah siapa yang saya nanti. Memanggil, tidak pernah jelas yang saya panggil. Atau menurut saya, tidak ada orang yang pantas saya panggil untuk mengisi relung jiwa saya. Saya merinsukan sesuatu yang tidak pernah terjelaskan oleh kepengecutan jiwa kerdil saya. Saya dihinggapi ketakutan terhadap kerumunan, tagihan penyelesaian persoalan. Akibatnya saya tidak pernah berani menyongsong setiap persoalan yang datang dan berlari masuk ke labirin cangkang siput saya , meski saya sadari saya tidak akan pernah bisa seseorang sembunyi dari dunia. Ia bisa berlari tapu tak mungkin sembunyi. Saya membutuhkan alasan untuk melawannya. “Tidak! Aku tidak mencintai manusia. Manusia terlalu tak sempurna bagiku. Cinta kepada manusia akan mencelakakan aku”
Tetapi apa yang saya dapay? Saya semakin yakin bahwa saya lebih mencintai kesunyian daripada keramaian. Saya lebih mencintai keabadian daripada kesemntaraan, entah apapun yang saya maksudkan dengan istilah-istilah itu. Persetan! Dengarlah yang dikatakan sahabat saya itu. “Pergilah ke dalam kesendirian bersama air mataku, wahai saudaraku. Aku mencintai mereka yang berusaha melampaui dirinya sendiri sampai dia ambruk dan menyerah” Demikianlah.

Beruntunglah dulu saya bertemu dengan dokter muda itu, orang yang dengan gagah berani menyatakan bahwa dia sudah membunuhnya, daripada orang yang mengaku memiliki kepercayaan terhadap tatanan itu dengan cara....

(mengeruk riak pada langir kerongkongannya dan meludahkannya dengan sangat kasar)

Sebelumnya ia memang pernah berbisik dengan lembut di telinga saya, mengatakan bahwa Dia sudah mati He is death. Ketika kemudian rahadsia itu menjadi umum, banyak orang yang pura-pura menunjukan ketersinggunggannya; merasa merekalah pemilik tunggalNya. Bukankah ini sesuatu yang menggelikan saudara-saudara? apa sesungguhnya yang mereka sangka di benak dungu kepala mereka? Sesuatu yang merestui pembakaran, pembunuhan, pembantaian, dengan atas nama....atas nama....atas.....nama..... apa ya....ya.....semacam bape.....bbbbbrrrrrvvvvhhhh! khgoeeeek, cuh! Munyuk bole bang! Siapa yang menyuruh kalian menghakimi namaNya dan kalian aniaya seenak kadal buntungmu sendiri! Siapa!? (mengeruk riak pada langit kerongkongannya dan meludahgkannya dengan sangat kasar) alangkah nista kalau saya membandingkan Anda yang berpendidikan dengan tokoh Kyy....Ups!....O, ya saya jadi ingat.

Sebelumnya saya pernah mengenyam pendidikan formal di sekolah menengah kebudayaan, wah ini menarik sekali. Anda pernah membaca atau setidaknyua pernah mendengar dongeng The Beat? No, not Beauty and The Besat, but the Beast? Kalau belum mari saya ceritakan.

(kemudian tokoh sandiwara tunggal kita ini duduk bersila, seolah dia siap memeragakan dirinya sebagai seorang dalang. Dan kemudian memang seperti itu yang dilakukannya)

Sabetbyaaar hwuata, henaggih hingkang cinarita minangka langening kandha, carita wonten ing padepokan cepekan, wonten sodengah titah hingkang holo rupa, endek cilik rikmane, raine aburik, regejegan padudon bab ngelmu lawan para hulaaamaa. Sabetbyar hwauta, mekaten hingkang sari bebantahan...

“Lah ta apa aranira, sarta anengendi wismanira?”

“Gatholoco aranku, ingsun jalma lanang sajati, omahku tengah jagad”

“ha...ha.....ha...”

“ Dene sire padha ngguyu latah-latah, anggeguyu apa?”

“Jeneng sira”

“Gatho iku tegese sirah kang wadi, loco piranti gosokan. Gatholoco aran mami, prasaja tandhya priya”

“jenengira kuwi ala, jalaran saru banget, haram najis lan mekruh, iku jeneng nyilakani, jeneng gawe durhaka, jeneng ora patut. Wis kasebut jeroning kitab, nyirik haram yen mati munggah swarga, kang haram manjing nraka”

“Ha...ha...ha....Syarakira kang kleru. Sapa kang bisa ngelus wadi iku thandane yen janma utama. Awak ingsun ngati kuru tan pakra jalaran nurut karsane sang panuntun. Esuk awan sore ngisep candu kalawan madat. Sang panuntun yen ra den turuti, mesthi muring lan duka njalari ingsung tan bisa uru”

“sang penuntun pepundhene wong sabumi, ora nate tekan pasar candu! Cocotmu! Mesum ora lumrah. Anyambahi pepundhene wong sabumi!”

“Iku dhasar sun krepake, aja lumrah kaya wong khatah, ngungkulana mring sasami, ora trima duwe kawruh kaya sira. Mung kawruh kaya lintah, ora duwe mata klawan kuping, amis kewala, nyucup getih kinira madumansa. Yen wis kwaregen getih banjur kemlakaren ora metu nganti setaun. Wekasan kleru tampa, ora weruh malah dadi ndurakani, manut kita mengkap-mengkap, manut dalil tanpa kasil. Rasanira ing kawruh ora rinasa! Tetp urip tanpa mata. Matamu tanpa paedah”

“Apa sira ora weruh mataku iki!?”

“Apa sira wani sumpah yen iku matanira?”

“ Ya. Iki mataku!”

“Ha...ha...ha...Yen nyata iku matanira, prentahen siji melek sijine turu”

“Endi ana mata giliran?”

“Iku tandhane dudu matanira. Yen iku matanira sira wenang masesa, saprentah bakal dituruti. Yen ora iku dudu matanira”

“Aku wani sumpah, awit cilik tumekang tuwa, mata iki ora pisah lan rai mami!”
“Dene sira wani sumpah ora pisah. Sire nemu mata kuwi aneng ngendi? Ana pisah mesthi ana ketemu. Ketemu mesthi nggembol pisah. Lah matamu kuei olehmu tuku apa nyilih? Umpama diwenehi sapa sig menehi, seksine sapa, dina apa, neng endi?”

“Gaweane bapa lan babuku!”

“Ha...ha...ha...takona wongtuwamu, mesthi kekarone padha mungkir, pada ora rumangsa gawe mata, irung, kuping. Kekarone mung krasa nikmat, ora nedya gawe matamu!”

“Allah ingkang Mahasuci ingkang karya raaganingwang!”

“Huh, umuke. Pernah apa sira karo Gusti Allah, dene pinaringan mata sakloron? Ponakane?”

“Katrima pamuji mai”

“Pujimu iki puji ning Hyang Widdhi, sira ora nduweni marang pangucap iku kabeh,iku ucaping Allah, yen mengkono sira maling. Isa tak lapur ke polisi. Mula yen durung bisa ndunungna saka endi matanira aja rumangsa duwe mata”

“guneman karo wong edan!”

“Edanku kawit cilik nganti tekan tuwa kungsi bisa mari. Saben dina owah ngingsir. Edanku turut margi, nunut margane kamulyan”

“Ghateoloco, kowe kudu mati, lamun isi urip ora wurung ngrusak syarak. Mbubrah tatanan, agawe sepining mesjid”

“Ingsung utang apa marang sira, kok sira arsa mateni mami, rak mung dinggo ngelgakke rasaning driya”

“ Krana sira ngrusak syaraK!”

“Heh! Syarak ora bisa rusak. Wis pinesthi dening Hyang Widhi. Mangana liwat silit, iku lagi ngrusak syarak!”

“Pokoke sira kudu mati!”

(dan seperti dalang sedang menyabetkan wayang, tokoh kita ini memeragakan peperangan wayang)

sadaya rep. Tidhem premanem. Mboten wonten ingkang arsa ngugandika. Amung angin. Amung angin.

(menembangkan tembang mijil)

duh manungsa, siya temen urip
urip isan muspra, datan weruh purna wusarane
ngaku nyembah mring guestiallahe
ning atimu bengis, lir sona ambaung

Apa yang bisa dipertanggungjawabkan dari kebodohan? Apakah IA sedemikian haus darah? Apakah kalian pikir IA tidak punya rasa malu dengan tingkahmu? Toloooll!

Sahabat, apa yang kau katakan tentang semua ini? Bersabdalah wahai Zarathustra!
“Betapa manusia hanya layak di tingkat percaturan pikiran; manusia adalah seutas tambang yang terentang antara hewan dan adimanusia-sebuah tambang di atas jurang tak berdasar!” aku ajarkan adimanusia padamu; dialah kilat itu!”

manusia itu sesuatu yang harus dilampaui. Apa yang telah kalian lakukan untuk melampaui manusia?

Apakah kalian memilih untuk menjadi arus balik dari arus padang agung itu dan lebih suka kembali menjadi binatang daripada melampaui manusia!?

Kamu berkerumun dengan sesamamu dan punya kata-kata indah untuk tindakanmu itu. Tapi aku katakan kepadamu; cinta sesamamu itu adalah cinta diri yang buruk.

Sang ewngkau lebih tua daripada sang aku. Eang engkau telah disebut suci,tapi sang aku belum; itulah sebabnya orang-orang berkerumun kepada sesamanya. Apakah perah aku menasihatkan padamu tentang cinta sesama? Justru aku nasihatkan kepadamu untuk lari dari sesamamu.

Celakalah mereka yang mencinta tapi tidak memiliki ketinggia yang melampaui belas kasihan mereka!

Saudaraku, bukan cinta sesama yang aku nasihatkan padamu, tapi cinta yang paling jauh!

“Bagaaall!”

dengar, dia mulai lagi memanggilku. Tolong! Jangan tinggalkan aku wahai Zarathustra, jangantinggalkan aku

“Bagaallll! Kamu sungguh dungu! Apa yang kamu takutkan dari pertikaian saling silang itu!? Bukankah setiap orang punya sesuatu yang hak yang patut mereka bela. Kamu? Apa yang sudah kamu lakukan dengan semua itu? Barpangku tangan merenungi semua ini sebagai tragedi bangsa? Apa gunanya kami tunggu jika hanya segitu nyalimu!”

Bagaaaalll! Masuk pertarungan Bagaaal!

“jangan takut membela yang hak bagal. Jika semua orang takut pada alasan, maka ia tidak akan melakukan apapun! Diam-dioam, mereka itu pahwlawan bagi kelompoknya, Bagal!”

“Kamu sudah mencoreng kebesaran warga kita”

“Kamu sungguh tidak patut menjadi panutan”

Tidak! Masa itu sudah tamat. IA tidak akan bangga dengan tingkah membabi buta. Kalia sangka mereka membela apa jika bukan kebodohan yang mereka usung di kepala mereka!? Oh, tidak bisa demikian! Tapi bagaimana dengan siraman darah pada kedua tangan saya.... ya, Tuhan, saya....

“Goblog! Seseorang memerlukan alasan untuk berperang!”

apakah kalian tidak memiliki alasan untuk tidak berperang? IA yang kalian agungkan itu adalah fiksi kedunguan kalian. Sungguh tega kalian mendesak-desakan IA di kepala sempit kalian!

“Kami tidak mau pergi sebelum melihat kau menjadi!”

aku tidak apapun seperti yang kalian harapkan! Aku tidak menjadi seperti itu! Aku menjadi seperti diriku sendiri. Aku menjadi seperti ini! Aku menjadi....

(sakit kepalanya kambuh kembali lagi hebat, sementara obat yang dicarinya tak ditemukan)


Aduh, kepalaku. Datanglah segala kuasa, datanglah segala kuasa. Peristiwakanlah semuanya kepadaku. Di manakah letak cahaya kebenaran itu! Di mana obat sakit kepalaku? Di mana obat itu? Di mana obat-obatan? Siapa yang punya obat-obatan, untuk menyembuhkan semua ini. Untuk menyembuhkan situasi ini? Siapa yang punya obat-obatan- apa saja!?

(tokoh sandiwara tunggal ini mengobrak-abrik meja kerjanya mencari obat, tetapi yang ditemukan adalah sebuah topeng filsuf jerman)

aku mendengar rintih perempuan, menangis dalam kepedihan, menangisi saudara tua yang terjebak dalam kesunyian. Itulah Zaratustra, itulah saya. Kini, tidak ada jalan pulang. Perahu telah diluncurkan, daratan telah ditinggalkan, dan tidak adal lagi pulau untuk masa depan. Tertutuplah jalan pulang. Dengarlah suara suci sang pertapa yang tak pernah diberi hati. Dengarlah suara kejantanan yang dengan gagah tegak berdiri melawan (mengenakan topengnya)

“Lizbeth, mengapa engkau menangis? Apakah kita tidak bahagia? Lisbeth, kebahagian bukan sesuatu yang penting. Orang harus mencari kebenaran meski tidak bahagia”

“Aku mendengar suara tanpa memasang telinga, menerima tanpa bertanya tangan siapa ada di sebelah sana, bagai api halilintar menerangi pikiran, denga mau tak mau, masuk kedalam bentuk curahan kata tanpa bersusah payah – aku tak punya pilihan lain.... semua terjadi dalam kelempangan tertinggi begitu saja, seperti berarus di dalam keliaran rasa, hakikat kemutlakan, kekuasan keilahian....”

“Semua sudah berlalu, masa lampau, keramahan. Masih saling melihat, berbicara untuk tiada berdiam diri, masih saling menulis surat untuk saling tidak berdiam diri. Tetapi kenyataan mata memandang, menandakan; dan berkata kepada saya (yah, saya mendengar cukup jelas!) sahabat Nieztzche kau kini sama sekali sndiri”

inilah kesamaan yang saya dapatkan. Mengapa saya tidak berani sendiri. Berdua. Menemnai kesendiriannya.

“Dalam kemelut jiwa demikian, satu-satunya sahabat tersetia di sisiku hanyalah waisata alam bisu yang terbentang di antara sela awan hujan musim dingin. Chiavari dan hutan Silvanaplana, rahim terbuka lembah pegunungan Portofino yang liar di tengah panorama Rapallo. Sengatan diam di mana mana menerawangkan kesepianku mengembara menerjang arah jarak sejauh 6000 kaki di seberang jarak manusia dan waktu”

“Bagaaalll! Kembali bagall! Marilah kita dirikan pasukan, Bagaaalll!
(bersenandung)
Tidakkah kutinggalkan engkau
Sebagai yatim piatu
Aku akan kembali padamu....

Apa yang kamu lakukan kecuali menyedihi ini semua? Apa!!?

Hai budaaaaak!beribu-ribu orang kehilangan nyawa dalam perseteruan dan rasa bela dungu, yang tidak pernah jelas sumbernya, dan berlari dari tanah kelahiran mereka dengan kepala kosong dan kehilangan keyakinan untuk hidup, apa yang kalian lakukan, hai budaaakkk!? Terus memeggal kepala setiap orang sambil mengibarkan panji-panji, bendera, sambil menyerukan namanya! Nama siapaaaaaa!? Nama siapaaa!

Apa yang bisa saya katakan tentang semua ini, tubuh saya yang kacau, jiwa saya yang sakit, kemunafikan dan kebodohan yang parah, sementara saya pun tak lebih dari seorang pesakitan yang tak mampu bergeming. Apa yang bisa kau lakukan untuk semuanya ini, wahai, boneka sang pertapa. Omong kosong! “Tidak!! Aku tidak mencintai manusia. Manusia terlalu tak sempurna bagiku. Cinta manusia akan mencelakakan aku”

Betapa manusia hanya layak di tingkat percaturan pikiran. Manusia adalah seutas tambang yang terentang antara hewan dan adimanusia- sebuah tambang di atas jurang tak berdasar

Aku ajarkan adimanusia kepadamu; dialah kilat itu!

Manusia itu sesuatu yang harus dilampaui. Apa yang telah kalian lakukan untuk melampaui manusia?

(Tokoh sandiwara kita ini menggeruskan dahaknya dengan keras dan meludahkannya ke arah peonton. Tetapi sebelum ludah itu muncrat, lampu telah padam dan dengan cepat berganti dengan senter dalam ukuran besar dan banyak menerpa wajahnya dari arah penonton. Tokoh sandiwara ini silau, tiba-tiba sebuah gerusan dahak dari orang banyak terdengar dan cuh, seketika muka tokoh kita ini diludahi, baterai mati, lampu permainan menyala)

bangsaaat! Khhhoooeeekkk!

(meludah ke penonton. Dan lampu permainan padam)

*****SELESAI*****

2 komentar: